Top 10 Penulis

3 Pertanyaan dari Ajahn Brahm untuk Kelly

Tulisan ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan Rumah Mettasik

Ajahn Brahm 2 postcard

Semalam saya baru saja berbincang dengan Kelly, putri saya yang saat ini sedang mengambil kuliah S2 di University of Melbourne. Australia.

Sebabnya ia baru saja mengikuti Dhammadesana dari Ajahn Brahm di Melbourne, Australia. Tentu saja sebagai ayah dan sekaligus umat Buddha, diskusi tentang dhamma selalu menarik perhatianku.

Termasuk bagaimana pendapat Kelly atas apa yang disampaikan oleh bhikkhu penulis buku “Cacing dan Kotorannya” itu.

Ternyata temanya tentang selfie. Atau lebih tepatnya wefie, karena seorang anggota sangha tidak akan mengambil fotonya sendiri, lalu memajangnya di media sosial.

Beliau menceritakan bahwa ia tidak pernah melewatkan momen tersebut. Setiap kali ada seseorang yang mengajaknya wefie, ia selalu menyanggupi. Tidak peduli sesibuk bagaimana pun dirinya, tidak peduli seberapa sempit waktunya, beliau mengaku akan selalu melayani foto bersama.

Alasannya?

Sebelum menjawab, beliau mengajukan tiga pertanyaan yang cukup menantang batin. Kelly mengaku cukup was-was, takut salah jawab, meskipun ia tidak harus berdiri di depan podium untuk mencetuskan pendapatnya. Baginya, pertanyaan tersebut semacam tes pengetahuan dhamma.

Pertanyaan pertama, “momen apakah yang paling penting?”

“Ah, enteng,” Kelly menjawab dalam hati. Tentu saja umat Buddha tahu jika momen yang terpenting adalah momen saat ini. Singkatnya, sadar setiap saat.

Pertanyaan kedua, “hal apakah yang harus diutamakan?”

Kali ini pertanyaannya agak menjebak. Sebabnya melakukan sesuatu pada saat ini tidaklah cukup. Esensi dari perbuatan juga penting. Harus melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat.

Dan, dugaan Kelly benar. Satu jawaban untuk dua maksud. “Lakukan apa yang baik pada saat ini, melalui pikiran, ucapan, dan tindakan yang benar.”

Pertanyaan ketiga. Pertanyaan pamungkas, “siapakah orang yang paling penting dalam hidup ini?”

Pada saat mendengarkan pertanyaan dari Kelly, saya tidak membiarkannya menjawab. Tentu saja, ia sudah tahu jawabannya. Saya mencoba untuk mengetes persepsi saya dengan menjawab pertanyaan tersebut.

Saya lalu berpikir. Membuat skala prioritas. Mulai dari kedua orangtua saya, pasangan hidup saya, hingga anak-anak saya. Tapi, belum ada yang cukup “pantas” untuk dicintai. Sebabnya jika diurut masih ada para leluhur, maupun sosok-sosok lainnya yang turut andil dalam mematangkan karma kelahiran kita sebagai manusia.

Eh, saya lalu mengingat sebuah frasa bahwa “karma adalah milik kita sendiri.” Jadi, tanpa ragu saya pun menjawab “Saya; Saya adalah orang yang paling penting dalam hidup ini.”

Bukan bermaksud egois. Tapi, bukankah bahwa apa pun yang kita lakukan akan memberikan efek yang luas? Bukan hanya kepada kita saja, tetapi seluruh semesta yang berkoneksi dengan diri kita.

Lagipula, jika dihubungkan dengan kedua pertanyaan di atas, maka “saya” adalah jawaban yang paling tepat. Kita memiliki kontrol penuh atas perbuatan (karma) kita sendiri. Dengan mengutamakan diri kita, implikasinya akan sangat luas.

Dan menurut Kelly, itu adalah jawaban dari mayoritas peserta. Ternyata Ajahn Brahm punya versinya sendiri.

“Orang yang terpenting adalah mereka yang sedang berada di hadapanmu.”

Aku tertegun. Ah, benar juga. Karena itulah arti dari mindfulness. Bukan hanya selalu sadar dengan apa yang sedang kita lakukan, tetapi juga sadar dengan siapa yang kita berinteraksi.

Pernyataan ini pun sangat relevan. Saya melihat kepada diriku sendiri. Lalu bertanya di dalam hati. Sudah cukup seringkah diriku terkoneksi dengan mereka yang sedang berbicara denganku?

Tidak ternyata. Ada yang lebih penting, yakni gawai canggih yang tidak pernah lepas dari genggaman. Tidak bisa diabaikan, seolah-olah ia adalah sumber kehidupan.

Kata orang FOMO. Fear of Missing Out.

Padahal, gawai tersebut bisa menunggu. Momen itu tidak nyata. Sementara orang-orang yang berada di hadapan kita adalah hal yang nyata. Mereka mengharapkan informasi, komunikasi, dan interaksi.

Saya pun merenung dan berjanji. Mulai saat ini, saya akan menjadikan siapa pun yang berada di hadapanku sebagai prioritas.

Hasilnya.

Sesaat setelah saya mendengarkan jawaban Ajahn Brahm, saya kembali asyik dengan gawaiku. Takut ketinggalan berita, khwatir dicap sombong oleh kawan-kawan grup perpesananku.

Padahal pada saat itu istriku sedang berada di hadapanku.

Tapi, eh… Beliau juga melakukan hal yang sama. Mengotak-atik gawainya. Tersenyum-senyum sendiri. Bercanda dengan kawan-kawan virtualnya.

Lalu, aku berhasil menemukan solusi pamungkas. Aku mengajaknya selfie sembari tersenyum. Setelah itu, kita kembali asyik. Tenggelam dalam dunia maya yang tiada berujung.

Ah, kapan ya kita bisa sadar.

**

Makassar, Mei 2023

Bahkan Angka pun Tidak Serumit Pikiran

Pilihan

Terpopuler Bulan Ini

Dari Penulis yang Sama

persons hand with white manicure
Menurut seorang peneliti dan juga ahli syaraf dari Universitas California Los Angeles, V.S Ramachandran, melalui pengamatan terhadap otak dengan topografi emisi, posisi pada daerah syaraf lobus frontal akan bersinar apabila subyek penelitian mengdiskusikan spiritual.
Tiger
Kehilangan muka, kehilangan kepercayaan, kehilangan harga diri hanya segelintir dampak yang muncul akibat fitnah.

Tulisan Terkait