Top 10 Penulis

Praktik Tiga Terpenting Seorang Buddhis

Tulisan ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan Rumah Mettasik

gray concrete buddha statue during daytime

Leo Tolstoy (1828 – 1910) adalah seorang sastrawan Rusia, pembaharu sosial, pemikir moral, dan vegetarian.

Tolstoy dianggap sebagai salah seorang novelis terbesar, khususnya karena adi karyanya yang dikenal luas, misalnya “Perang dan Damai” dan “Anna Karenina”.

Sebagai seorang filsuf moral, Tolstoy terkenal karena gagasan-gagasannya tentang perlawanan tanpa kekerasan. Gagasan-gagasan Tolstoy sangat besar pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh abad ke-20, seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr.

Dalam salah satu karyanya, Tolstoy bercerita tentang seorang Raja yang yakin bahwa seandainya dia tahu jawaban untuk tiga pertanyaan terpenting, ia tidak akan bingung atas apa pun lagi. Dengan menemukan jawaban atas tiga pertanyaan terpenting ini, Raja yakin kerajaannya akan langgeng, aman, dan sentosa.

Ketiga pertanyaan terpenting tersebut adalah: (1) Kapan waktu terpenting?, (2) Siapa orang terpenting?, (3) Apa hal terpenting untuk dilakukan?

Raja kemudian mengumumkan ke seluruh penjuru negeri bahwa siapa saja yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mendapatkan hadiah besar. Banyak cerdik pandai maupun rakyat biasa yang mencoba peruntungan dengan mengajukan berbagai jawaban. Tetapi tidak ada satu pun jawaban yang bisa memuaskan Raja.

Raja kemudian memutuskan untuk menemui seorang Pertapa yang tinggal di puncak sebuah gunung. Banyak orang percaya bahwa Pertapa ini telah mencapai pencerahan. Pertapa ini dikenal tidak mau meninggalkan puncak gunung tempat tinggalnya dan hanya mau menerima orang miskin. Pertapa menolak berurusan dengan orang-orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Oleh karenanya, Raja berniat menyamar menjadi rakyat jelata. Para pengawal hanya diperbolehkan menunggu di kaki gunung.

Setelah tiba di tempat tinggal Pertapa, Raja melihat Pertapa sedang mencangkul tanah di depan pondoknya. Ketika Pertapa melihat ada orang asing, ia hanya mengganggukkan kepalanya kemudian meneruskan pekerjaannya. Tugas tersebut terlihat sulit baginya karena ia sudah tua. Setiap kali mengayunkan cangkulnya ke tanah, ia mendesah dengan berat.

Raja menghampirinya dan berkata, “Saya datang ke sini untuk meminta bantuan Anda menjawab tiga pertanyaaan terpenting, yaitu waktu, orang, dan hal terpenting dalam kehidupan ini.”

Pertapa mendengarkan dengan saksama. Setelah Raja selesai berbicara, Pertapa hanya menepuk pundak Raja dan kemudian mencangkul kembali. Raja lalu berkata, “Anda pasti letih. Izinkan saya untuk membantu.” Pertapa mengucapkan terima kasih, lalu menyerahkan cangkulnya, kemudian duduk beristirahat.

Setelah mencangkul beberapa lama, Raja berhenti, lalu menoleh ke Pertapa dan mengulang tiga pertanyaan terpentingnya. Raja tetap tidak mendapatkan jawaban. Pertapa kemudian berkata, “Mengapa engkau tidak beristirahat saja sekarang? Saya bisa bekerja lagi.” Tetapi Raja terus saja mencangkul.

Akhirnya, matahari mulai terbenam di balik gunung. Raja menaruh cangkul dan berkata, “Saya datang ke sini untuk mendapatkan jawaban untuk tiga pertanyaan terpenting. Jika Anda tidak mengetahui jawabannya, sebaiknya saya pulang saja.”

Pertapa tetap tidak menjawab. Pertapa malah bertanya kepada Raja, “Apakah Anda mendengar suara orang berlari di sebelah sana?”

Mereka berdua lalu melihat seorang pria berjanggut putih panjang berlari keluar dari hutan. Ia berlari sempoyongan sambil menutupi perutnya yang bercucuran darah. Sebelum pria tersebut mencapai Raja, ia terjatuh dan pingsan.

Segera Raja membuka pakaian pria tersebut. Raja dan Pertapa melihat luka sayatan yang dalam. Raja segera membersihkan luka itu dan menggunakan pakaiannya untuk membalut. Darah segera membasahi balutan itu. Raja mengeringkan pakaiannya, kemudian membalutnya lagi. Raja melakukannya berulang kali sampai darah tidak mengalir lagi.

Akhirnya pria itu sadar dan meminta air minum. Raja berlari ke mata air terdekat dan membawa air segar. Sementara itu, matahari telah tenggelam dan udara malam terasa dingin. Pertapa lalu membantu Raja menggendong pria terluka itu ke dalam gubuk Pertapa. Mereka membaringkannya di atas tempat tidur Pertapa. Pria tersebut menutup matanya dan tertidur. Raja yang sudah sangat keletihan, bersandar di pintu, dan segera jatuh tertidur.

Ketika Raja bangun, matahari sudah terbit. Untuk sesaat Raja lupa sedang berada di mana. Raja melihat ke tempat tidur dan pria terluka juga baru tersadar dan terlihat kebingungan. Ketika ia melihat Raja, ia memandang dengan saksama dan kemudian berbisik lirih, “Mohon maafkan saya.”

“Apa yang sudah kamu lakukan sehingga saya harus memaafkan kamu?” tanya Raja.

“Baginda tidak mengenal saya, tetapi saya mengenal Baginda. Saya telah bersumpah untuk membalas dendam. Di perang yang lalu, Baginda telah membunuh kakak saya dan menyita semua harta kami. Ketika saya tahu bahwa Baginda datang sendirian ke gunung ini untuk bertemu dengan Pertapa, saya berniat untuk mencegat dan membunuh Baginda di tengah jalan. Tetapi setelah menunggu lama, Baginda tidak muncul juga. Saya lalu meninggalkan tempat persembunyian untuk mencari Baginda.”

Pria itu melanjutkan, “Tetapi, saya bertemu dengan beberapa pengawal. Mereka mengenali saya dan lalu menyerang saya. Untungnya, saya bisa melarikan diri sampai ke sini. Saya berniat membunuh Baginda, tetapi malah Baginda menyelamatkan hidup saya. Saya sungguh malu dan sangat bersyukur. Jika saya selamat, saya bersumpah untuk menjadi pelayan Baginda selama-lamanya, dan memerintahkan anak dan cucu saya untuk melakukan hal yang sama. Sekali lagi, mohon maafkan saya.”

Raja merasa sangat bahagia. Raja kemudian tidak hanya memaafkan pria tersebut tetapi juga berjanji mengembalikan semua harta yang telah disita, serta mengirimkan tabib untuk merawatnya hingga sembuh.

Setelah memerintahkan para pengawalnya untuk mengantar pria tersebut pulang, Raja kembali menemui Pertapa. Raja mengulang tiga pertanyaan terpenting untuk terakhir kalinya.

Pertapa memandang Raja dan berkata, “Bukankah pertanyaanmu sudah terjawab semua?”

“Maksud Anda?” tanya Raja kebingungan.

“Kemarin, jika saja Anda tidak kasihan kepada saya yang sudah tua dan lalu membantu mencangkul tanah, Anda pasti sudah diserang oleh pria tersebut. Waktu terpenting adalah ketika Anda sedang bersama saya, orang terpenting adalah diri saya, dan hal terpenting untuk dilakukan adalah membantu saya yang sedang bersama Anda. Kemudian, ketika pria yang terluka itu berlari kemari, waktu yang terpenting adalah ketika Anda bersama dia, orang terpenting adalah pria terluka tersebut, dan hal terpenting adalah merawat lukanya.”

Pertapa melanjutkan, “Ingat bahwa hanya ada satu waktu yang terpenting. Waktu terpenting itu adalah saat ini. Oleh karenanya, waktu terpenting itu adalah setiap saat dalam kehidupan. Orang terpenting adalah yang sedang bersama Anda. Hal terpenting untuk dilakukan adalah melakukan yang terbaik untuk orang yang sedang bersama Anda. Itulah tiga terpenting dalam kehidupan ini.”

Raja menjadi terbuka pikirannya. Raja merasa sangat bahagia. Akhirnya Raja mendapatkan jawaban yang memuaskan akan tiga pertanyaan terpentingnya, yaitu: (1) WAKTU terpenting: SAAT INI, (2) ORANG terpenting: YANG SEDANG BERSAMA KITA SAAT INI, (3) HAL terpenting: MELAKUKAN YANG TERBAIK UNTUK ORANG YANG SEDANG BERSAMA KITA SAAT INI.

Sebenarnya, Buddha sudah mengajarkan kita untuk hidup dalam kekinian (saat ini). Prinsip ini mensyaratkan kita untuk memberikan perhatian sepenuhnya kepada setiap saat di sepanjang kehidupan kita. Perhatian sepenuhnya ini harus dilengkapi dengan melakukan yang terbaik sesuai dengan yang dibutuhkan dalam setiap saat tersebut.

Nafas merupakan salah satu obyek meditasi untuk berfokus atau mengonsentrasikan pikiran yang diajarkan oleh Buddha. Hanya orang yang masih hidup yang memiliki nafas. Nafas adalah perlambang kehidupan yang sedang berlangsung. Nafas di setiap waktu adalah cermin kekinian, ciri yang nyata dari seorang manusia yang masih hidup.

Dengan mengamati obyek nafas, seorang meditator (yogi) sebenarnya berfokus kepada setiap saat dalam kehidupannya. Kehidupan yang nyata ditandai oleh nafas yang sekarang, bukan nafas yang sudah terjadi di waktu yang lalu mau pun nafas yang akan terjadi di waktu mendatang.

Prinsip ”Tiga Terpenting” ini seyogyanya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah praktik lanjut dari hidup meditatif setiap saat. Berikan perhatian sepenuhnya kepada setiap saat dalam kehidupan, dengan siapa kita sedang berada bersama. Lakukan yang terbaik bagi orang yang sedang bersama dengan kita di setiap saat dalam kehidupan.

Jika kita mampu mempraktikkan ”Tiga Terpenting” ini, jangan kaget jika penerimaan orang terhadap diri kita akan meningkat secara signifikan. Jangan kaget juga jika kita kemudian mendapat banyak dukungan dan persetujuan dari orang-orang lain. Keberhasilan, kesuksesan, dan kebahagiaan pun menjadi lebih mudah kita raih dengan mempraktikkan ”Tiga Terpenting” yang sangat sejalan dengan ajaran Buddha.

Ingatlah selalu kalimat bijaksana ini, “Tiada yang terpenting saat ini selain melakukan yang terbaik bagi orang yang sedang berada bersama kita saat ini.”

Pilihan

Terpopuler Bulan Ini

Dari Penulis yang Sama

self love, coffee, motivation
Manajemen diri sangat penting bagi setiap orang untuk menjalani kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, profesional, maupun sosial kemasyarakatan.
woman holding black pocket watch at 5:30
Usia rata-rata manusia di zaman Buddha Gotama adalah 100 tahun. Berarti usia rata-rata manusia di zaman sekarang ini adalah 74 tahun.

Tulisan Terkait